ETIKA PERGAULAN DALAM ISLAM (nukilan dari buku guru kami Sidi Rohimuddin)
May 22, '07 3:08 AMfor everyone
I. Konsep Pergaulan
Gaul, campur, kenal: kata “gaul” verba intransitifnya adalah bergaul bererti hidup berteman dalam masyarakat; berkawan akrab. Saya sudah dua tahun bergaul dengan orang itu. Perkataan campur iaitu, bercampur bererti berkumpulnya orang-orang menjadi satu seperti: Tua muda, besar kecil, laki-laki wanita bercampur menjadi satu dalam pesta itu. Kenal berarti mengerti dan pernah mengetahui seseorang. Sudah berapa lama kamu mengenal dia?.
Sebenarnya dalam Islam tidak ada istilah "pergaulan bebas", sebab secara fitrah manusia memiliki keharusan untuk bergaul dalam interaksi sosial yang merupakan sunah sosial dan kehidupan itu sendiri. Namun setelah masuknya budaya asing -ke dalam pergaulan masyarakat muslim- yang dibentuk oleh kecenderungan material semata-mata dan falsafah hidup yang lahir dari bumi dan hawa nafsu, maka Islam menamakannya sebagai pergaulan bebas, bebas dari tuntunan wahyu, moral dan fitrah.
Jika kita berbicara masalah pergaulan pada era globalisasi saat ini memang sangat rumit. Dalam erti yang lain, kita hidup dengan manusia yang mempunyai prinsip dan pandangan hidup yang berbeza, bahkan masyarakat di kota-kota besar dapat dikatakan memiliki kecenderungan hidup bebas. Terkadang dengan kondisi seperti itu, kita menghadapi sebuah dilema bagaimana menempatkan diri dalam dunia pergaulan agar kita sebagai muslim dapat diterima oleh lingkungan, tetapi keyakinan atau syariat Islam pun tetap terjaga.
Sebetulnya, kaedah yang paling tepat dalam pergaulan, khususnya dengan lawan jenis (berbeza jantina) adalah pandai-pandai menempatkan diri dan menjaga hati (bergantung kepada penilaian iman dalam situasi berkenaan). Usahakanlah untuk mengerti situasi bila kita harus serius dan bila harus santai, "think before you act" sangatlah penting.
Meskipun demikian, menjaga etika pergaulan seperti menundukkan pandangan adalah sangat dianjurkan (wajib hukumnya, dalam erti kata, tidak meihat dengan syahwat). Namun inti dari ajaran ini adalah bagaimana kita menjaga kebersihan dan kesucian hati. Istilahnya, untuk apa kita menundukkan pandangan atau menghindar dari pertemuan dengan lawan jenis jika hati tidak kita tundukkan?
Allah Swt berfirman:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ (غافر :19)
“Dia (Allah) Mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati”. QS. 40:19
Semua tergantung pada niat kita. Contohnya, dalam suasana kerja atau organisasi di mana kita dituntut untuk berinteraksi dengan orang banyak, baik laki-laki atau wanita, kita tentu saja diperbolehkan mengadakan kontak dengan lawan jenis (berbeza jantina, lelaki dengan perempuan). Pada prinsipnya, jika maksud kita untuk kebaikan dan batasan-batasan syariat tetap dijaga, semuanya dibolehkan dalam Islam. Islam tidaklah pernah bertujuan untuk mempersulitkan sesuatu, tapi justru mempermudahkan hidup kita. Segala yang disyariatkan sudah barang tentu demi kebaikan umat manusia.
Demikian halnya dengan seruan ditetapkannya legalitas (undang-undang kenegaraan misalnya) tidak menutup muka wanita serta penyertaan mereka dalam kehidupan sosial bersama laki-laki (seperti dalam bidang pendidikan, pekerjaan dan sebagainya yang sesuai denga tanggungjawab sosial sebagai wanita) dengan menjaga batasan-batasan syariat adalah seruan kepada hidayah, dan hidayah Allah Swt itu membawa kemudahan bagi manusia. Bukan seperti dua kelompok yang kesulitan memahami seruan hidayah ini:
Pertama, kelompok yang mengharamkan terbukanya wajah wanita dan segala bentuk penyertaan wanita dalam pelbagai kondisi, walau ia sangat memerlukan dan diperlukan serta telah menjaga batasan syariat. Barangkali mereka lupa terhadap satu peringatan Nabi saw.:
“Bahwa mengharamkan yang halal sama seperti menghalalkan yang haram”, HR. Athabarani, keduanya dianggap melampaui batas syariat.
Sedang Rasulullah saw. ketika mensunahkan (membenarkan akan syariat) terbukanya wajah wanita dan penyertaan mereka dalam kehidupan sosial (sesuai dengan tanggungjawab sosial mereka), Baginda saw menginginkan kebaikan bagi kaum muslimin, karena hal itu akan mempermudahkan pergaulan mereka dalam kehidupan yang positif dan serius, serta membuka pintu aktiviti soleh untuk wanita, mulai dari menuntut dan mengajarkan ilmu, membantu kerja suami yang lemah, hingga andil dalam kegiatan sosial atau politik yang dapat mendukung perkara positif, konsruktif sekaligus melawan kerosakan, penyimpangan dan lain-lain.
Kedua, kelompok yang menentang syariat. Dalam pergaulan mereka senantiasa senang berbuat urakan, bercampur bebas tanpa batas dan aturan kesopanan, berpakaian mini dan setengah telanjang, ketat dan jarang. Maka, pergaulan dan perjumpaan seperti ini sering membuat mereka menderita, kerana di samping terkena murka Allah Swt, mereka terjerumus ke dalam berbagai penyakit sosial seperti yang dideritai oleh masyarakat Barat.
Kedua kelompok tersebut sama-sama bingung dalam menempatkan diri mereka di dalam dunia material yang serba maju ini. Oleh karena itu, sebagai muslim yang merasa dirinya beriman, harus memahami etika pergaulan, penyertaan dan perjumpaan laki-laki dan wanita yang telah ditetapkan Islam dalam kehidupan sosial.
Etika sempurna; etika yang dapat melindungi moral serta tidak merusak kehidupan yang baik. Etika yang dapat menumbuh kembangkan kebaikan dan kebajikan, menjauhi kemunkaran dan menjinakkan potensi untuk berbuat buruk, adalah etika luhur yang dapat memperkaya kesihatan psikologi laki-laki dan wanita secara sempurna. Kerana di satu sisi tidak terjadi perlecehan, pelanggaran dan rangsangan seksual terhadap lawan jenis, dan di sisi lain bukanlah sebuah pelarian, tindakan berlebihan, perasaan malu yang bukan pada tempatnya dan alergi terhadap lawan jenis.
Jika dalam etika Islam ini ada perhatian yang lebih kepada muslimah -ketimbang muslim-, baik dalam berpakaian, bicara atau gerak-gerik dan lain-lain, hal itu karena wanita lebih banyak menanggung beban dalam merealisasikan kemaslahatan dan kepentingan hidup dalam pergaulan serta bermasyarakat. Sebab jika banyak kemaslahatan dan kepentingan, pertemuan pun menjadi banyak. Sebaliknya jika kepentingan itu sedikit, pertemuan pun menjadi sedikit.
(Nukilan dan dari buku Cinta di Ambang Perkahwinan karangan guru kami, Sheikhuna Sidi Abu Muhammad Rohimuddin bin Nawawi Al-Banteni, Khalifah Tarikat Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani (tarikat As-Syazuliyah Ad-Darqowiyah, merangkap salah seorang tenaga pengajar di Ma'ahad Az-Zein di Bogor (ma'ahad Sheikh Nuruddin Al-Banjari). Semoga Allah s.w.t. memanfaatkan kita dengan ilmu beliau dunia dan akhirat-amin...)
Prev: Jawapan Sheikna Dr. Umar Abdullah Kamil terhadap Para Pengingkar Majaz
Tiada ulasan:
Catat Ulasan