Habib Ahmad bin Anis bin Abdul Kadir Basurrah: Kunci Dakwah itu Kesabaran |
Wednesday, 28 November 2012 09:47 |
Kita harus sadar, Islam itu satu. Kalau Islam bentrok, pasti ada munafik atau kafir yang melakukan adu domba. Tujuannya, tidak ingin Islam damai, ingin agar Islam hancur.
Muda, energik, dan berpikir positif, itulah ciri yang menonjol dari Habib Ahmad bin Anis bin Abdul Kadir Basurrah. Ditempa di Huraidhah dan Tarim untuk menekuni dakwah membuatnya selalu berprasangka baik dalam menyikapi persoalan yang menimpa umat Islam.
Masa kecilnya sampai kelas dua SD dihabiskannya di Arab Saudi, lalu ia pindah ke Indonesia dan bersekolah di Jamiat Kheir. Habib Ahmad juga sempat mencicipi sekolah Muhammadiyah sebelum akhirnya menuntut ilmu ke Huraidhah dan Tarim selama lima tahun lebih.
“Setamat SMA sebenarnya saya tertarik untuk melanjutkan kuliah, namun kedatangan Habib Muhammad Shaleh Alatas ke Jakarta yang menawarkan belajar di Huraidhah membuat saya berubah pikiran, apalagi pergaulan saya dan juga banyak saudara adalah dengan para pendakwah,” tutur pria berusia 25 tahun ini.
“Awalnya rencana di Hadhramaut hanya dua tahun, khawatir kalau tidak betah. Ternyata malah keasyikan menuntut ilmu di sana sampai hampir enam tahun. Saat kedatangan Habib Muhammad ke Jakarta, dia bilang bahwa dia punya tempat belajar tapi belum ada pondoknya. Silakan kalau mau belajar. Saya berangkat berempat dengan teman ke Huraidhah, ini adalah cabang pesantren Darul Musthafa yang diasuh oleh Habib Umar Bin Hafidz,” katanya.
Mulailah pengembaraan ilmu dan praktek dakwah yang sesungguhnya dilakukan di negeri para wali itu. Menurutnya, bekalnya hanyalah niat baik untuk menuntut ilmu dan sedikit bahasa Arab, karena ketika kecil dia sudah fasih berbahasa Arab.
“Saat itu kami belajar di masjid, tinggalnya mengontrak di rumah penduduk, setiap Kamis dan Jum’at kami dilepas untuk berdakwah masuk ke rumah penduduk. Di sana bertahan tiga tahun lalu saya pindah ke Rubath Tarim, asuhan Habib Salim Asy- Syathiri, sempat mengikuti pelajaran di tempat Habib Umar Bin Hafidz selama empat puluh hari. Di rubath Tarim dua setengah tahun, belajar fiqih, akhlaq, nahwu, lalu hafalan Al-Qur’an, sisa hari lainnya digunakan untuk terjun ke dunia dakwah sampai ke pelosok-pelosok Tarim,” ujar suami Zahara binti Hasan Alatas ini.
Ketika sudah bermukim di Huraidhah selama setahun barulah berdiri pesantren, dan santrinya mulai bertambah. Mereka yang masuk paling awal disuruh mengajar santri baru, termasuk Habib Ahmad. Dia pun ikut mengajarkan kitab Risalatul Jamiah, Safinatun Najah, dan kitab-kitab dasar lainnya. Menurut Habib Ahmad, santri juga diharuskan ikut program pesantren kilat (daurah) selama empat puluh hari di Pesantren Darul Musthafa di bawah bimbingan Habib Umar Bin Hafidz.
“Di Huraidhah kami hidup seperti orang zaman dahulu, hanya belajar dan beribadah, tidak boleh menonton, tidak boleh keluar pesantren, fasilitas modern seperti kipas angin atau AC tidak ada, padahal di sana musim panas sangat luar biasa, musim dingin juga esktrem dingin, yang kami dapatkan di situ adalah arti kehidupan. Kami paham, hidup itu seperti itu, jangan asal enak saja. Keberkahan ilmu kami mengertinya di situ,” tuturnya lagi mengisahkan pengalaman menjadi santri di Huraidhah dan Tarim.
Dengan suasana yang fokus seperti itu, menurutnya ilmu cepat masuk, para santri tidak tercemar dengan hal-hal yang membuat hilangnya keberkahan ilmu, seperti maksiat atau melihat hal-hal yang dilarang agama. “Tidak ada radio dan televisi, selama saya di pesantren tidak pernah melihat wanita, kecuali kalau terjun ke masyarakat,” ujarnya. Dia bersyukur bisa menuntut ilmu di dua kota ilmu itu, yaitu Huraidhah dan Tarim, karena menurutnya dua tempat itu sumber ilmu dan semua orang ingin ke sana untuk menuntut ilmu.
Ceramah Dadakan
Kesiapan mental adalah salah satu fokus yang sangat diperhatikan ketika menuntut ilmu di Huraidhah. Menurut Habib Ahmad, jadwal para santri diatur dengan ketat dan disiplin, mulai dari bangun sebelum subuh sampai nanti tidur lagi jam sebelas malam.
“Satu jam sebelum subuh para santri dibangunkan, lalu kami membaca adzkar (dzikir-dzikir), sampai adzan subuh. Sebelum shalat, menunggu iqamah, adzkar lagi. Setelah shalat Subuh, adzkar lagi, lalu membaca Wirdul Lathif dan wirid Habib Abubakar bin Salim.
Setelah itu kami belajar ilmu nahwu, balaghah, sampai makan pagi sekitar jam 09.00. Setelah makan pagi, kami rehat sejenak lalu nanti dibangunkan sekitar jam 10.30. Kemudian ada dars (pelajaran), yang materinya bergantian, tentang hadits, sirah, aqidah.
Setelah shalat Zhuhur, kami setor hafalan kepada guru dan pembimbing, lalu acara makan siang, dan dilanjutkan dengan istirahat,” ujar Habib Ahmad.
“Sebelum adzan ashar, kami sudah ada di masjid, menunggu imam datang, lalu berdzikir, membaca Wirdul Lathif, surah Al-Waqi’ah, kemudian rauhah, membahas kitab-kitab aqidah, tasawuf, akhlaq, yang berhubungan dengan kebersihan hati.
Jam lima sore ada waktu kosong. Biasanya santri memanfaatkan untuk main bola.
Sebelum maghrib, kami sudah ada di masjid lagi, bedzikir, shalat berjama’ah. Setelah itu kami membaca Al-Qur’an, tiap kelompok lima orang, satu hari satu juz. Targetnya setiap hari Kamis khatam Al-Qur’an.
Menunggu adzan isya, kami membaca Ratib Alatas, setelah itu membaca fiqih, sampai waktu iqamah.
Setelah shalat Isya berjama’ah, kami membaca hadits, sampai setengah sepuluh malam. Setelah itu muraja’ah, menyiapkan dan membaca apa yang akan dipelajari besok paginya.
Jam sebelas malam lampu dimatikan. Tidurnya ada yang menjaga secara bergiliran. Jadi dua jam lalu bangun, menjaga yang tidur, begitu terus sampai menjelang subuh. Jadi dalam pesantren kami tidak pernah berhenti dari dzikir dan orang yang beraktivitas menuntut ilmu.”
Tidak hanya di pesantren, para santri juga disuruh terjun ke masyarakat. Agar mental mereka terlatih dengan baik dan siap dengan segala kondisi apa pun. Habib Ahmad pernah kaget ketika baru empat bulan dia di sana langsung oleh Habib Muhammad diminta untuk memberikan mauizhah. Dia ingin memberikan alasan bahwa bahasa Arab-nya masih terpatah-patah, tapi belum sempat berbicara sudah ditinggal oleh gurunya itu.
Ketika saatnya datang, Habib Ahmad pun menyampaikan kepada hadirin yang memenuhi masjid bahwa ia mempunyai keterbatasan, jadi dia hanya berpidato sebentar.
Tapi ketika pulang, Habib Muhammad malah memuji ceramahnya. “Itu motivasi agar santri tidak patah semangat, walau saya tahu apa yang saya lakukan jauh dari harapan,” tutur Habib Ahmad sambil tertawa. Itulah yang membuatnya sampai sekarang tidak pernah takut menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar, karena mentalnya sudah dilatih dengan baik.
“Wasiat dari guru, kita tidak ada waktu berhenti untuk berdakwah dan menuntut ilmu. Jadi kalau pulang jangan sampai berhenti belajar. Bisnis tidak apa tapi jangan sampai melupakan dakwah,” ujarnya menirukan gurunya, dan itu yang dipegangnya sebagai bekal berdakwah.
Dakwah Penuh Tanggung Jawab
Sepulang dari Hadhramaut, Habib Ahmad mulai berdakwah dengan lebih menonjolkan akhlaqul karimah. Dia berdakwah dengan tutur bahasa yang lemah lembut dan penuh kesabaran. Dia ingin mencontoh kesabaran Rasulullah SAW. Awalnya dia hanya mengisi ta’lim yang ustadznya berhalangan, namun setelah itu jama’ah makin banyak yang menyukai gaya berdakwahnya, terutama anak muda. Maka dibentuklah Majelis Ta’lim Ar-Ridwan, yang bermarkas di masjid dekat rumahnya di Cililitan Kecil, Jakarta Timur. Jadwal ta’limnya sehabis maghrib tiap Jum’at, dan yang dibahas masalah fiqih, lalu membaca Maulid Simthud Durar.
Selanjutnya di Gandaria, itu dua kali sebulan, yang dibahas aqidah, menggunakan kitab Aqidatul Awwam. Sedangkan di Condet di Majelis Ta’lim Muassasatul Bagir jadwalnya minggu pertama dan ketiga tiap bulan. Di samping itu dia juga mengisi manasik haji dan umrah di sebuah perusahaan travel dua kali sebulan, lalu sisanya mungkin ada undangan dari berbagai tempat.
Menurutnya, dakwah itu penuh tanggung jawab. “Masalah-masalah faktual kadang kita tahu jawabnya tapi takut mengutarakannya. Kalau Imam Syafi’i jika ditanya beliau diam lebih dulu. Lama sekali diam. ‘Kenapa tiap ditanya antum diam, ya Imam?’
Dia menjawab, ‘Kalau saya buru-buru menjawab, takut salah. Dia ingin memastikan bahwa jawaban itu tepat’,” kata Habib Ahmad.
Dia melanjutkan, dakwah saat ini adalah hasil dari perjuangan ulama-ulama dan habaib zaman dulu, yang penuh rintangan. Kita sekarang tinggal meneruskan. Ibarat kopi, memasak dan mengaduknya sudah dilakukan para pendahulu kita, yang sekarang tinggal meminumnya.
Dakwah yang dilakukannya terutama adalah kepada para pemuda, khususnya pemuda yang rusak, suka mabuk, dan sejenisnya. “Dakwah harus disampaikan dengan cara yang baik, jangan membuat orang antipati. Ada akhlaqnya dalam menegur orang, jangan sampai dia malu. Kita harus selalu berbaik sangka. Kalau ada yang masih suka mabuk, dia minum tiga botol sehari, misalnya, nasihati agar bisa mengurangi, doakan agar dia cepat sadar,” ujarnya.
“Nahi munkar dalam agama, kalau kita tidak bisa mengubah dengan tangan, dengan cara mengingatkan secara lembut. Seperti Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Musa AS agar mendakwahi Fir’aun dengan perkataan yang lembut, padahal Allah SWT Mahatahu bahwa Fir’aun akan mati dalam keadaan kafir....”
Di samping itu menurutnya penting juga terapi seperti yang dilakukan Habib Rizieq dengan FPI-nya. Kalau tidak, kemunkaran akan semakin leluasa. Jadi perlu sinergi. Melihat situasi dan kondisi sangat perlu dalam berdakwah. Ada saat tertentu diperlukan ketegasan.
Menurutnya, dakwah itu perlu kesabaran. Hanya itu tantangannya. Kalau ancaman fisik, tidak ada yang berarti. Tidak seperti di negara lain. “Kita harus mencontoh Rasulullah SAW. Pernah suatu ketika beliau mendapatkan seorang ibu tua yang sedang membawa barangnya setelah dari pasar, Rasulullah SAW kasihan melihat barang yang dibawanya tampak begitu berat, beliau lalu menawarkan diri untuk membawanya. Sampai ke tujuan rumahnya, si ibu tadi belum pernah melihat dan mengenal Rasulullah SAW, sampai di rumahnya dia berkata, ‘Wahai anak muda, aku ingin memberi nasihat kepadamu yang berguna untukmu dunia dan akhirat. Kalau suatu waktu nanti kamu berjumpa dengan seorang pemuda yang bernama Muhammad, jangan pernah sekali-kali kamu percaya, karena dia adalah pembohong besar.’ Padahal yang dihadapinya adalah Muhammad.
Kalau kita mungkin sudah naik pitam mendengar omongan orang tua itu. Sudah dibantu malah berkata seperti itu. Tapi dakwah itu adalah akhlaq, itu yang menarik orang. Akhlaq itu lebih fasih dari mulut. Lalu Rasulullah SAW dengan tenang mengatakan, ‘Bagaimana kalau anak muda itu adalah aku?’
Perempuan tua itu kaget dan memandang Rasulullah, tidak percaya. Setelah itu ia menangis, dan akhirnya wanita itu masuk Islam karena agungnya akhlaq Rasulullah SAW. Itulah Islam.
Kalau ada orang yang membenci dakwah kita, kita temui mereka seraya minta maaf. Hal itu akan membuat mereka malu dan nanti akan penasaran. Islam itu awalnya akhlaq, pertengahan akhlaq, dan akhirnya akhlaq.
Ada ulama yang mengarang buku dan bertanya, ‘Kenapa umat Islam tersingkir dari percaturan dunia?’
Salah satu jawabannya adalah karena orang kafir zaman sekarang menggunakan akhlaqnya orang Islam, dan sebaliknya orang Islam menggunakan akhlaq orang kafir. Coba perhatikan bagaimana perilaku orang di jalan raya, bagaimana akhlaq mereka,” kata Habib Ahmad.
Menurutnya, dakwah itu harus bersatu dari semua pihak, baik itu donatur, media, kekuasaan, semuanya harus bersatu. Media jangan hanya diisi oleh hal-hal yang dangkal, karena pengaruh media sangat luar biasa. Banyak masyarakat yang tidak tahu hal-hal elementer dalam agama, orang sekarang kan hanya ingin tahu yang populer, misalnya seperti perbedaan pendapat kelompok-kelompok. Bagaimana urusan akan beres kalau hal yang mendasar mereka tidak lakukan, ingin rizqi lancar dan berkah tapi shalat tidak pernah. Kita butuh kesabaran dan kebersamaan dalam dakwah.
Berbicara tentang kesabaran, manusia yang paling sabar adalah Rasulullah SAW. “Kunci kesabaran itu ingat kesabaran Rasulullah SAW saat berdakwah, diapakan saja beliau sabar. Jangan hanya karena diomongin lalu ada yang berhenti berdakwah.
Kita harus sadar, Islam itu satu. Kalau Islam bentrok, pasti ada munafik atau kafir yang melakukan adu domba. Tujuannya, tidak ingin Islam damai, ingin agar Islam hancur.
Kita harus introspeksi, mari kita pikirkan diri kita, mari belajar dari ulama-ulama terdahulu dalam menghormati ulama yang berbeda pendapat, bagaimana akhlaq mereka menghormati yang berbeda pendapat.
|
Tiada ulasan:
Catat Ulasan