Tawaran Murah Hotel

Selasa, September 23, 2008

AYAT TASYBIH

AYAT TASYBIH
www.majelisrasulullah.org
Kenalilah Akidahmu 22
AYAT TASYBIH
Mengenai ayat mutasyabih yang sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu
berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh
sebagian kelompok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk
kepada jantung tauhid yang sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam
jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan,
wajah dll yang hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid ilahi pada benak
muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka
perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut.
Sebagaimana makna Istiwa, yang sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar
membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan
menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU
TEMPAT” , entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah
semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu
tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita
mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti
Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits
qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yang terendah saat sepertiga malam
terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan
kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir,
Maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak
sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti
Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin
ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah
bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan hadits
qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah dan tak pernah
kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits
Qudsiy mengatakan Allah dilangit yang terendah.
Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang
yang bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab :
”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan
tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini
adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”,
demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat
engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yang menjadi
Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yang beliau itu Guru Imam
Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita
bahwa hanya orang orang yang tidak baik yang mempermasalahkan masalah ini.
Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yang berbai’at padamu sungguh mereka
telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan
AYAT TASYBIH
www.majelisrasulullah.org
Kenalilah Akidahmu 23
disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yang turut
berbai’at pada sahabat.
Juga sebagaimana hadits qudsiy yang mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi
waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada
Ku dengan hal hal yang fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal
hal yang sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku
menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yang ia
gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memerangi,
dan kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya
kuberi permintaannya....” (shahih Bukhari hadits no.6137) Maka hadits Qudsiy diatas
tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera
lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah,
pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya
bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.
Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua
pendapat/madzhab dalam menafsirkannya, yaitu:
1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih
Madzhab ini mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt,
dengan i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu;minu
biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan
membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab
inilah yang juga di pegang oleh Imam Abu hanifah.
Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh
tapi menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti para imam yang memegang
madzhab tafwidh.
2. Madzhab takwil
Madzab ini menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dengan keesaan dan keagungan
Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan
dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya,
sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid
oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para
sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.
Seperti ayat :
”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan
mereka) (QS Attaubah:67),
dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah
14).
AYAT TASYBIH
www.majelisrasulullah.org
Kenalilah Akidahmu 24
Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum
dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda
dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu
lupa” (QS Maryam 64)
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai
Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan
Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul
’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak
mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui
Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)
Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?
Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah
Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba
Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy
indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau
temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan
menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang
berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari,
Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat
Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah
swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki
Kemegahan dari apa apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para
Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).
Walillahittaufiq

Tiada ulasan: