Tawaran Murah Hotel

Isnin, Mac 14, 2011

Membaca Al-Qur’an Untuk Orang Mati itu Boleh Menurut Syaikh Al-UtsaiminMembaca Al-Qur’an Untuk Orang Mati itu Boleh Menurut Syaikh Al-Utsaimin

Membaca Al-Qur’an Untuk Orang Mati itu Boleh Menurut Syaikh Al-Utsaimin

Membaca Al-Qur’an Untuk Orang Mati itu Boleh Menurut Syaikh Al-Utsaimin Ulama Wahabi
Sabtu, 01 Januari 2011 | Diposkan oleh Kenapa Takut Bid’ah? | | Edit Entri
0diggsdiggvote
nowBuzz up!12
Share
MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK ORANG MATI ADALAH BOLEH (PENDAPAT YANG RAJIH) KATA SYAIKH ‘UTSAIMIN [RUJUK MAJMU’ FATAWA WA RASAIL FADLILATUSY SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-‘UTSAIMIN (W. 1421 H)]
(359) سئل فضيلة الشيخ: عن حكم التلاوة لروح الميت؟
Fadlilatusy Syaikh : tentang hukum tilawah (membaca al-Qur’an) untuk roh orang mati ?
فأجاب قائلًا: التلاوة لروح الميت يعني أن يقرأ القرآن وهو يريد أن يكون ثوابه لميت من المسلمين هذه المسألة محل خلاف بين أهل العلم على قولين: القول الأول: أن ذلك غير مشروع وأن الميت لا ينتفع به أي لا ينتفع بالقرآن في هذه الحال. القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبًا أو غير قريب.
Jawaban :
Tilawah (membaca al-qur’an) untuk roh orang mati yakni membaca al-Qur’an karena ingin memberikan pahalanya untuk mayyit (orang mati) dari kaum muslimin, masalah ini terdapat perselisihan diantara ahlil imi atas dua pendapat :
Pertama, sungguh itu bukan perkara yang masyru’ (tidak disyariatkan) dan sungguh mayyit tidak mendapat menfaat dengannya yakni tidak memberikan manfaat dengan pemabacaan al-Qur’an pada perkara ini.
Kedua, sesungguhnya mayyit mendapatkan manfaat dengan hal itu, dan sesungguhnya boleh bagi manusia untuk membaca al-Qur’an dengan niat pahalanya untuk fulan atau fulanah dari kaum muslimin, sama saja baik dekat atau tidak dekat (alias jauh).
والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت، كما في حديث سعد ابن عبادة -رضي الله عنه- حين تصدق ببستانه لأمه، وكما في قصة الرجل الذي قال للنبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: «إن أمي افْتُلِتَت نفسها وأظنها لو تكلمت لتصدقت أفأتصدق عنها؟ قال النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: “نعم» وهذه قضايا أعيان تدل على أن صرف جنس العبادات لأحد من المسلمين جائز وهو كذلك، ولكن أفضل من هذا أن تدعو للميت، وتجعل الأعمال الصالحة لنفسك لأن النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قال: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» . ولم يقل: أو ولد صالح يتلو له أو يصلي له أو يصوم له أو يتصدق عنه بل قال: – «أو ولد صالح يدعو له» والسياق في سياق العمل، فدل ذلك على أن الأفضل أن يدعو الإنسان للميت لا أن يجعل له شيئًا من الأعمال الصالحة، والإنسان محتاج إلى العمل الصالح، أن يجد ثوابه له مدخرًا عند الله -عز وجل-.
Dan yang rajih (yang kuat) : adalah qaul (pendapat) yang KEDUA karena sesungguhnya telah warid sebagai jenis ibadah yang boleh memindahkan pahalanya untuk mayyit, sebagaimana pada hadits Sa’ad bin ‘Ubadah radliyallahu ‘anh ketika ia menshadaqahkan kebunnya untuk ibunya, dan sebagaimana kisah seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku dalam telah meninggal dunia, dan aku menduga seandainya ia sempat berbicara ia akan meminta untuk bershadaqah, maka bolehkah bershadaqah untuknya ? Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”, ini sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa memindahkan pahala jenis ibadah untuk salah seorang kaum Muslimin adalah boleh, dan demikian juga dengan membaca al-Qur’an. Akan tetapi yang lebih utama dari perkara ini agar mereka berdo’a untuk mayyit, serta menjadikan amal-amal shalih untuk dirimu sendiri karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
“Apabila bani Adam mati maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selali mendo’akannya”.
Namun tidak dikatakan, anak shalih yang melakukan tilawah untuknya, atau shalat untuknya, atau puasa untuknya, atau shadaqah untuknya bahkan Nabi bersabda : “atau anak shalih yang berdo’a untuknya”,
Maka ini menunjukkan bahwa seorag manusia berdo’a untuk mayyit itu lebih utama (afdlal) dari pada menjadikan amal-amal shalihnya untuk mayyit, dan manusia membutuhkan amal shalih agar pahalanya menjadi simpanan disisi Allah ‘Azza wa Jalla.” ……..
Faidah yang bisa di ambil adalah :
- Yang rajih berdasarkan pentarjihan dari Syaikh ‘Utsaimin bahwa pahala bacaan al-Qur’an boleh dihadiahkan untuk orang mati, dengan niatkannya dan bermanfaat untuk mayyit.
- Ini juga sam halnya dengan pendapat qaul masyhur dari madzhab Syafi’i, sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari didalam Fathul Wahab :
“dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya”. [Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab (2/23)]
Kemudian juga disebutkan oleh al-‘Allamah Sulaiman al-Jamal :
“dan tahqiq (penjelasan) bahwa bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga” [Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal (2/210)]
- Antara do’a untuk orang mati dan membaca al-Qur’an untuk orang mati hanya masalah afdlaliyah (keutamaan) saja, dan disini menurut Syaikh ‘Utsaimin yang lebih utama adalah berdo’a untuk orang mati.
- Hadits tentang menshadahkan untuk orang mati juga bisa dijadikan sebagai dalil bahwa pembacaan al-Qur’an untuk orang mati juga boleh, ini sebenarnya disebut sebagai qiyas.
- Hadits tentang terputusnya amal bukan berarti menafikan perpindahan pahala untuk orang mati, demikian juga bukan berarti larangan membaca al-Qur’an untuk orang mati melainkan juga hanya masalah afdlaliyah saja, sebab dalam hadits tersebut hanya dituturkan masalah do’a.
- PENTING : yakni bahwa tidak semua hal baru jatuh pada status hukum haram (sebagai bid’ah muharramah) dan disini Syaikh ‘Ustaimin malah memperbolehkannya.

Tiada ulasan: